Menyingkap Kenaifan dalam Diri (The Catcher In The Rye)







“Aku pikir selama ini adalah “Kalau ada yang datang untuk menangkap seseorang,”” Kataku. “Yah begitulah.” Aku selalu membayangkan ada begitu banyak anak kecil bermain-main di sebuah ladang gandum yang luas. Ribuan anak kecil, dan tak satu pun orang – maksudku orang dewasa – ada di sekitar tempat itu. Kecuali aku sendiri. Dan aku berdiri di pinggir sebuah tebing yang mengerikan. Yang harus aku lakukan adalah, aku harus menangkap semua anak begitu mereka mulai menghambur ke pinggir tebing – maksudku kalau mereka berlari-lari dan tidak memperhatikan arah. Lalu aku akan muncul entah dari mana dan menangkap mereka. Itu yang akan aku lakukan sepanjang hari. Aku hanya ingin menjadi seorang tukang tangkap, si penangkap, sang penyelamat di ladang gandum. Aku tahu ini kedengarannya gila, tetapi itu satu-satunya yang betul-betul ingin aku lakukan. Aku tahu ini gila”[1]
Penggalan kisah pelarian Holden Caulfield tersebut merupakan klimaks dari novel The Catcher In The Rye. Saya menangkap kesan mendalam yang ingin disampaikan Salinger pada pembaca, bahwa Holden tidak ingin apapun selain mempertahankan dunia masa kanak-kanak dari mulut tebing yang mengarah ke ngarai kehidupan orang dewasa. Selama kisah ini berlangsung, kita diajak mengikuti jejak perjalan si remaja bertopi pemburu yang mengalami storm and drunk – dan memang anak yang satu ini suka sekali mabuk – di antara arus dunia orang dewasa yang serba ‘munafik’ dengan cara yang kekanak-kanakan. Sungguh, ia adalah anak yang tersesat.
Tetapi, mungkin saja kita juga mengalami hal itu, tidak hanya saat memasuki masa pubertas, melainkan di berbagai belokan tahap perkembangan sepanjang menempuh kehidupan. Seperti halnya sosok Holden sendiri, ia anak remaja yang terbilang tinggi untuk anak seusianya, dan memiliki rambut yang beruban. Saat menangkap pesan, walaupun masa kanak-kanak tinggal dalam album kenangan, ada sisi naif yang tetap dikandung dalam diri. Sisi naif yang membuat kita terkadang plin-plan, polos, mudah dipengaruhi dan tidak dapat menahan perhatian untuk konsisten dan berkomitmen. Sisi naif ini juga semakin terdorong jauh dari jendela kesadaran karena kita mencoba untuk menipu diri sendiri di satu sisi, dan menyalahkan dunia luar di sisi lain.
Kembali pada Holden, yang akan mengatakan kalau ia berusia 22 tahun bila ia bertemu dengan mu. Dan jangan langsung percaya bila ia mulai membual soal gadis-gadis, atau kehidupan orang dewasa dengan segala tetek bengeknya. Ia seolah-olah tahu, tetapi perkiraan-perkiraannya malah meleset dan blunder sehingga ketahuan bila ia seumur anak-anak. Anak remaja kita yang storm and drunk ini menipu diri sendiri dengan merasa tahu dan bersikap menggurui. Di saat yang sama ia menggeneralisasikan dunia orang dewasa sebagai sesuatu yang serba munafik. Ia ingin membuka celah supaya dunia luar itu salah karena munafik.
Bagaimana pun, Holden dan sifat kekanak-kanakannya bukanlah bahan tertawaan dan lelucon. Ia mengajari kita sesuatu apabila dilihat dari sudut pandang Phoebe – adik perempuannya – dan keterkaitan antara dirinya dengan barang peninggalan Allie, sarung tangan baseball yang bertuliskan bait puisi. Meskipun tidak disadari langsung oleh dirinya, berhadapan dengan Phoebe adalah momen saat ia berhadapan dengan dirinya sendiri.
Kegemasan Holden pada tingkah Phoebe yang seperti anak seusianya, memproyeksikan citra diri yang dipertahankannya. Hanya Phoebe yang membuat Holden mengungkapkan keinginannya untuk menjadi si penangkap. Dan antiklimaks kisah ini berlangsung dengan kebersamaan antara Holden dan Phoebe yang menggambarkan jalan kembali menuju masa kanak-kanak: mengunjungi kebun binatang, melihat komedi putar, dan datangnya hari raya natal.
Sedang sarung tangan baseball bertuliskan puisi tidak pernah ia pakai, melainkan menjadi pengingat pada Allie, adik laki-lakinya yang terbaring sendirian di kuburan. Allie sudah mati, tetapi bukan berarti tidak bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja. Pandangan yang senada terhadap masa kanak-kanaknya Holden nyatakan demikian. Puisi dalam sarung tangan tersebut seolah menyatakan bahwa ada keindahan dan makna yang ingin ia tangkap dan dipertahankan di atas telapak tangannya, sebelum semuanya terlambat dan menjadi nihil karena dinginnya dunia orang dewasa. Dunia orang dewasa yang sedingin musim dingin yang menjadi latar suasana kisah Holden.
Sampai di sini apakah ada kenangan masa kecil yang terlintas dalam benak? Apakah di balik tawa, manisnya gulali, kartun hari minggu, petak umpet, dan musim layang-layang, terdapat makna dan keceriaan yang direkatkan ke dinding hati? Dan keinginan untuk kembali dan mengejarnya walau berlawanan dengan putaran roda waktu? Ada kalanya kita menjadi seperti Holden, hidup membawa kenangan masa lalu dan berharap esok tidak ada yang berubah, baik diri kita atau peristiwa yang dialami. Tetapi, justru dengan melepaskan dorongan-dorongan naif pada sentimen masa lalu, kita dipertemukan kembali dengan perasaan-perasaan tersebut dalam bentuk yang berbeda. 
Akhir kata, saya kutip pesan pak Antolini untuk Holden:
“Mereka yang belum dewasa adalah yang bersedia mati demi memperjuangkan suatu hal, sementara mereka yang dewasa justru bersedia hidup dengan rendah hati memperjuangkan hal itu.”[2]


[1] Salinger, J.D. (2015). The Catcher in The Rye. Depok: Banana.
[2] “The mark of the immature man is that he wants to die nobly for a cause, while the mark of the mature man is that is wants to live humbly for one.”Wilhem Stekel.

Posting Komentar

0 Komentar